Putusan MK: Pemilu Tetap Dilaksanakan dengan Sistem Proporsional Terbuka

Facebook
Twitter
WhatsApp
LinkedIn
Pinterest
Print
Tangkapan Layar - Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan yang disiarkan di kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI, Kamis 15 Juni 2023. (Foto: Kabar Labuan Bajo/San Edison)

KABAR LABUAN BAJO – Pemilu 2024 tetap dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. Hal ini dipastikan setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan para Pemohon dalam sidang perkara gugatan UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu.

“Menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Anwar Usman, saat membacakan putusan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis 15 Juni 2023, seperti dipantau di kanal YouTube Mahkamah Konstitusi RI.

Dalam persidangan perkara Nomor 114/ PUU-XX/ 2022 itu, MK mematahkan dalil-dalil para Pemohon, seperti terkait distorsi peran partai politik, politik uang, tindak pidana korupsi, hingga keterwakilan perempuan.

Baca Juga:
Ketua KPU: Tahapan Pemilu 2024 Jalan Terus

Terkait dalil sistem proporsional dengan daftar terbuka telah mendistorsi peran partai politik misalnya, Hakim Konstitusi Saldi Isra menegaskan, dalil tersebut hendak menegaskan sejak penyelenggaraan Pemilu 2009 sampai dengan 2019, partai politik seperti kehilangan peran sentralnya dalam kehidupan berdemokrasi.

Saldi Isra menyebut, sesuai ketentuan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang menempatkan partai politik sebagai peserta pemilihan umum anggota DPR/ DPRD, dalam batas penalaran yang wajar, maka dalil para Pemohon adalah sesuatu yang berlebihan.

“Karena, sampai sejauh ini, partai politik masih dan tetap memiliki peran sentral yang memiliki otoritas penuh dalam proses seleksi dan penentuan bakal calon,” tegasnya.

Baca Juga:
Presiden Jokowi: Dalam Politik Kerja Sama Itu Wajib, Jangan Memecah Belah Bangsa

Kemudian terkait dalil sistem proporsional dengan daftar terbuka memberi peluang terjadinya politik uang, Saldi Isra mengatakan, pilihan terhadap sistem pemilihan umum apa pun sama-sama berpotensi terjadinya praktik politik uang.

“Misalnya, dalam sistem proporsional dengan daftar tertutup, praktik politik uang sangat mungkin terjadi di antara elit partai politik dengan para calon anggota legislatif yang berupaya dengan segala cara untuk berebut ‘nomor urut calon jadi’, agar peluang atas keterpilihan-nya semakin besar,” jelas Saldi Isra.

MK, demikian Saldi Isra, tak menampik bahwa dalam setiap sistem Pemilu, baik sistem proporsional tertutup maupun terbuka, sama – sama memiliki kelebihan dan kekurangan.

“Kekurangan dapat diperbaiki dan disempurnakan, tanpa mengubah sistemnya,” ujar Saldi Isra.

Baca Juga:
PN Jakarta Pusat Perintahkan KPU Tunda Pemilu 2024

Perbaikan dan penyempurnaan dalam pemilihan umum dapat dilakukan dalam berbagai aspek, mulai dari sistem kepartaian, budaya politik, kesadaran dan perilaku pemilih, hak dan kebebasan berekspresi, serta mengemukakan pendapat, kemajemukan ideologi, kaderisasi dalam tubuh partai politik, hingga kepentingan dan aspirasi masyarakat yang direpresentasikan oleh partai politik.

“Maka dalil-dalil para Pemohon yang pada intinya menyatakan sistem proporsional dengan daftar terbuka sebagaimana ditentukan dalam norma Pasal 168 ayat (2) UU 712017 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” tegas Saldi Isra.

Para Pemohon dalam perkara ini berjumlah 6 orang, dan mendaftarkan gugatannya pada 14 November 2022 lalu. Mereka adalah Demas Brian Wicaksono, pengurus PDIP Cabang Probolinggo; Yuwono Pintadi; Fahrurrozi, bacaleg 2024; Ibnu Rachman Jaya, warga Jagakarsa, Jaksel; Riyanto, warga Pekalongan; serta Nono Marijono, warga Depok. klb/angela

Terkini

Terpopuler

Pembuatan Undangan Digital, Klik Disini!