KABAR LABUAN BAJO – Ribuan BTS 4G (Base Tranceiver Station 4G) yang dibangun BLU Bakti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) belum beroperasi secara optimal.
Kondisi tersebut, oleh banyak pihak disebut mangkrak. Bukan itu saja, sebab belakangan, proyek penyediaan BTS 4G Bakti Kominfo serta infrastruktur pendukung Kominfo periode 2020 hingga 2022 ini juga menyeret nama Johnny G Plate.
Mantan Menkominfo RI itu kini bahkan menjadi terdakwa dalam kasus korupsi BTS 4G ini, dan tengah menjalani rangkaian persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Sesuai agenda, sidang akan dilanjutkan tanggal 25 Juli mendatang, untuk mendengarkan keterangan dari saksi – saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Baca Juga:
Lantik Menkominfo, Presiden Jokowi Minta Prioritaskan Penyelesaian Proyek BTS
Terlepas dari dakwaan JPU terkait keterlibatan Johnny Plate, begitu pula dengan keterangan saksi – saksi nantinya, tentu menarik untuk menyimak pendapat praktisi teknologi dan informasi (IT) terkait proyek BTS 4G Bakti Kominfo ini.
Apalagi dalam logika masyarakat awam, proyek BTS 4G Bakti Kominfo ini mangkrak, karena melihat banyaknya BTS 4G yang tidak beroperasi optimal. Terutama BTS 4G yang dibangun di wilayah terdepan, terluar dan tertinggal (3T).
“Kasus BTS 4G ini menarik. Terlepas dari dakwaan JPU terhadap para terdakwa, proyek ini harus dilihat secara utuh,” kata praktisi IT, Renyald YP, kepada kabarlabuanbajo.com, Minggu 23 Juli 2023.
Baca Juga:
Kuasa Hukum Bantah Johnny Plate Seret Nama Jokowi dalam Kasus Korupsi BTS 4G
Ia menyebut, BTS 4G ini sesungguhnya dibangun oleh dua pihak, yakni pemerintah dan operator seluler.
“Pemerintah lewat BLU Bakti Kominfo membangun menaranya, tanpa memasukkan sinyal. Sementara urusan sinyal, itu menjadi tanggung jawab operator seluler,” jelas Renyald.
Operator seluler, menurut dia, juga membangun BTS 4G. Bedanya, operator seluler juga memasukkan sinyal. Meski merupakan program pemerintah untuk mempercepat transformasi digital, imbuhnya, pihak operator seluler memilih dan membangun di titik – titik blank spot di wilayah non-3T, yang secara komersial menguntungkan.
Baca Juga:
Sidang Kasus Proyek BTS 4G, Johnny Plate Didakwa Terima Uang Rp17,8 Miliar
Operator seluler, demikian Renyald, praktis akan mendahulukan pemasangan sinyal di BTS 4G yang mereka bangun di wilayah non-3T. Setelah itu, baru memasang sinyal di BTS 4G yang dibangun Bakti Kominfo.
Biaya untuk membangun dan memasukkan sinyal di BTS 4G di wilayah 3T yang mahal dan berpotensi merugikan operator seluler, dinilainya menjadi salah satu sebab utama mengapa ada sebagian BTS 4G yang dibangun Bakti Kominfo tapi justru belum ada sinyal.
“Masyarakat awam menyebutnya mangkrak. Padahal bukan mangkrak, tetapi karena sinyalnya lemah,” ujarnya.
“Karena itu, menjadi urusan operator seluler menaikkan bandwidth atau kapasitas jaringan internetnya. Kalau untung, operator seluler akan naikkan (bandwidth). Kalau tidak, akan tetap seperti itu. Ini menjadi PR pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya jika ingin proyek BTS 4G ini sesuai target dan bermanfaat untuk masyarakat,” imbuh Renyald.
Baca Juga:
Proyek BTS 4G Jalan Terus
Ia juga menyoroti hasil perhitungan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), yang menemukan kerugian negara dalam proyek BTS 4G Bakti mencapai Rp8,032 triliun.
Padahal, sebagaimana dalam dakwaan JPU terhadap Johnny Plate, proyek BTS 4G paket 1, 2, 3, 4 dan 5 merupakan kontrak payung yang berlangsung hingga 2026.
Karena itu, menurut Renyald, proyek pembangunan BTS 4G tentu saja belum rampung karena masih berjalan. Namun, sebagaimana audit BPKP, proyek tersebut sudah divonis rugi, yang seharusnya kerugian dihitung setelah pekerjaan selesai atau tutup buku.
“Kalau (proyeknya) masih berjalan, bagaimana menghitung untung – ruginya? Bisa dihitung, tapi masih bersifat potensial loss. Sementara kan berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), kerugian keuangan/ perekonomian negara bersifat nyata,” pungkas Renyald. klb/angela