KABAR LABUAN BAJO – Mahkamah Agung (MA) mengabulkan uji materi atas Pasal 11 Ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 dan Pasal 18 Ayat (2) PKPU Nomor 11 Tahun 2023, yang diajukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), serta dua eks pimpinan KPK yakni Saut Situmorang dan Abraham Samad.
Dalam putusannya, MA memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mencabut dua aturan yang dinilai mempermudah mantan narapidana kasus korupsi kembali maju sebagai calon anggota legislatif (Caleg) itu.
“Memerintahkan kepada Termohon (KPU) untuk mencabut Pasal 11 ayat (6) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 Tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/ Kota, dan Pasal 18 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2023 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2022 Tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota DPD, serta seluruh pedoman teknis dan pedoman pelaksanaan yang diterbitkan oleh Termohon,” demikian bunyi keterangan tertulis MA, Sabtu 30 September 2023.
Baca Juga:
Pilpres 2024, Jadwal Pendaftaran Capres – Cawapres Tanggal 19-25 Oktober
Dua aturan tersebut dipersoalkan para Pemohon, karena dinilai membuka pintu bagi mantan terpidana kasus korupsi untuk maju sebagai Caleg tanpa menunggu masa jeda selama lima tahun, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam putusannya, MA menyatakan Pasal 11 Ayat (6) PKPU 10 Tahun 2023 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yakni Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu juncto Putusan MK Nomor 87/ PUU-XX/ 2022.
Sementara Pasal 18 Ayat (2) PKPU 11 Tahun 2023 bertentangan dengan Pasal 182 huruf g UU Pemilu juncto Putusan MK Nomor 12/ PUU-XXI/ 2023.
MA menyatakan kedua pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum, karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Baca Juga:
Uji Materi Terkait ‘Presidential Threshold’ Kandas di MK
Dalam pertimbangan hukumnya, MA menilai perlu ada syarat ketat dalam menyaring para calon wakil rakyat demi mencegah terjadinya tindak pidana korupsi oleh para wakil rakyat yang terpilih dari hasil Pemilu.
MA menyebut tindak pidana korupsi sebagai sebuah kejahatan luar biasa, sehingga tidak adanya persyaratan ketat dipandang bakal mengakibatkan proses pembangunan yang terhambat dan tidak tepat sasaran, mempengaruhi kebijakan publik dan produk legislasi yang koruptif.
Tujuan Pemilu adalah sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat dan pemerintahan negara yang demokratis maka diperlukan sistem penyelenggaraan Pemilu yang demokratis dan berintegritas.
Bahwa Pemilu yang Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil (LUBER JURDIL) untuk memilih wakil rakyat yang berintegritas tinggi, perlu dibangun dengan sistem dan syarat pencalonan yang mencerminkan upaya pencegahan masuknya calon-calon wakil rakyat yang tidak berintegritas.
Kemudian guna memperoleh wakil rakyat yang berintegritas, maka diperlukan syarat-syarat yang ketat terhadap proses pencalonan. Sehingga warga negara yang mempunyai hak pilih disediakan calon-calon yang berintegritas tinggi untuk dipilih oleh partai politik (parpol) peserta Pemilu dan Komisi Pemilihan Umum.
Baca Juga:
Pemilu 2024, Mendagri Ingatkan ASN Jaga Netralitas
Karena itu, MA berpandangan bahwa KPU seharusnya menyusun persyaratan yang lebih berat bagi pelaku kejahatan yang dijatuhi pidana pokok dan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik.
MA menambahkan, pedoman jangka waktu lima tahun setelah terpidana menjalankan masa pidana adalah waktu yang cukup bagi mantan terpidana kasus korupsi untuk introspeksi dan beradaptasi dengan masyarakat lingkungan.
Hal tersebut sesuai dengan Putusan MK Nomor 87/ PUU-XX/ 2022, dan Putusan MK Nomor 12/ PUU-XXI/ 2023.
Putusan MA ini diapresiasi banyak pihak, tak terkecuali Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut Juru bicara KPK, Ali Fikri, Putusan MA itu selaras dengan semangat pemberantasan korupsi untuk memberikan efek jera bagi para pelakunya.
“Karena harapannya, pelaku ataupun masyarakat menjadi jera atau takut untuk melakukan korupsi,” ujar Ali Fikri. klb/angela