KABAR LABUAN BAJO – Ada beberapa istilah yang belakangan menyita perhatian masyarakat, terutama terkait kekayaan intelektual. Sebut saja di antaranya adalah hak cipta, hak paten, merek, dan beberapa lagi.
Agar tidak bingung, di Indonesia sesungguhnya ada dua kekayaan intelektual yang diakui dan dilindungi, yakni Hak Cipta dan Hak Kekayaan Industri. Khusus Hak Kekayaan Industri, terdiri dari merek, hak paten, rahasia dagang, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu dan perlindungan varietas tanaman.
Bersamaan kekayaan intelektual tersebut, ada juga sengketa hukum yang sering terjadi. Misalnya soal sengketa merek dagang, pelanggaran hak cipta, pelanggaran hak paten, dan lainnya.
Inilah yang mendorong pemerintah dan lembaga lainnya, terus menyosialisasikan kepada pelaku usaha terkait pentingnya mengurus hal-hal seputar merek, hak paten, dan lainnya terkait kekayaan intelektual.
Baca Juga:
Bupati Edi Endi Harapkan Kemenkumham Dampingi Pelaku Usaha Terkait Dugaan Pelanggaran KI
Hal ini juga yang dilakukan oleh Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) NTT yang bekerja sama dengan Sub Direktorat Pencegahan dan Penyelesaian Sengketa Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), melaksanakan Konsultasi Teknis dan Pemberian Edukasi kepada Pelaku Usaha terkait Pelindungan dan Penegakan Hukum Kekayaan Intelektual, di Labuan Bajo, Selasa 28 Februari 2023.
Kegiatan yang dibuka secara resmi oleh Bupati Manggarai Barat ini menghadirkan lima orang narasumber, dengan moderator Analis Hukum Ahli Madya Kanwil Kemenkumhan NTT, Dientje Elensia B Logo.
Terkait kekayaan intelektual hingga pelindungan dan penegakan hukumnya ini, dikupas tuntas oleh para narasumber dalam kegiatan tersebut.
Baca Juga:
Kemenkumham Apresiasi Manggarai Barat Telah Miliki Perda Perlindungan Kekayaan Intelektual
Analis Hukum Ahli Madya pada Direktorat Paten, DTLST, dan RD, Retno Kusuma Dewi, yang tampil sebagai pamateri pertama membahas soal paten serta pelanggaran dan penyelesaian sengketa paten.
“Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi,” jelas Retno.
Ia menambahkan, paten terdiri dari paten biasa dengan masa pelindungan 20 tahun, dan paten sederhana dengan masa pelindungan 10 tahun.
Pemegang paten, menurut dia, dapat melaksanakan sendiri invensi tersebut atau memberikan persetujuan/ lisensi kepada pihak lain.
Selain itu, pemegang paten juga berhak melarang pihak lain untuk membuat atau menjual produk yang diberi paten (paten produk) ataupun menggunakan proses produksi yang diberi paten untuk membuat barang atau tindakan lainnya (paten proses). Terlebih bila tindakan paten produk dan paten proses tersebut dilakukan tanpa persetujuan pemegang paten.
Baca Juga:
Dukung Tahun Merek, Layanan Mobile IP Clinic Akan Digelar di Labuan Bajo
“Seseorang dan/ atau badan hukum yang memanfaatkan hak eksklusif pemegang paten tanpa seizinnya merupakan bentuk pelanggaran paten dan dapat diproses sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” jelasnya.
Menurut Retno, pelanggaran paten diatur dalam Pasal 161 sampai dengan Pasal 164 UU Nomor 13 Tentang Paten. Pelanggaran paten biasa diancam pidana 4 tahun dan/ atau denda Rp1 miliar, sedangkan pelanggaran paten sederhana diancam pidana 2 tahun dan/ atau denda Rp 500 juta.
Apabila pelanggaran sampai mengakibatkan gangguan kesehatan dan/ atau lingkungan hidup, ancaman hukumannya paling lama 7 tahun dan/ atau denda paling banyak Rp2 miliar.
Lebih lanjut dikatakan, tindak pidana pelanggaran paten merupakan delik aduan. Dalam hal ini, pemegang paten dapat melaporkan pelanggaran paten kepada Polisi atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Delik aduan juga digunakan dalam dugaan pelanggaran atas suatu ciptaan.
Baca Juga:
PeduliLindungi Resmi Bertransformasi Menjadi SATUSEHAT Mobile Per 1 Maret
Soal yang satu ini, dijelaskan lebih lanjut oleh narasumber kedua, Achmad Iqbal Taufiq, Subkoordinator Pertimbangan Hukum dan Litigasi pada Direktorat Hak Cipta dan Desain Industri. Ia membawakan materi tentang pelindungan hak cipta dalam rangka pencegahan pelanggaran kekayaan intelektual.
Ia menjelaskan, pelindungan hak cipta berbeda dengan kekayaan intelektual personal lainnya seperti paten, merek dan desain industri yang harus didaftarkan untuk mendapatkan perlindungan hukum.
Iqbal menegaskan, hak eksklusif pada hak cipta timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah pencipta membuat suatu ciptaan yang diwujudkan dalam bentuk nyata.
“Jadi, pelindungan hak cipta secara otomatis muncul ketika ciptaan diwujudkan. Dalam artian bisa dilihat, dibaca atau didengar,” jelasnya.
Baca Juga:
Pulau Padar, Tak Hanya Eksotis Namun Juga Rumah Bagi Chelonia Mydas
Iqbal menambahkan, ciptaan yang dilindungi harus berwujud, memiliki bentuk, dan original. Pelindungan ciptaan bersifat universal atau berlaku juga di negara lain.
Pelindungan hak cipta atas ciptaan seperti buku, lagu atau musik, serta karya seni berlaku selama hidup pencipta dan terus berlangsung selama 70 tahun setelah pencipta meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya.
Sedangkan untuk ciptaan seperti karya fotografi, sinematografi, atau program komputer berlaku selama 50 tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman.
“Pelindungan hak cipta atas ciptaan berupa karya seni terapan berlaku selama 25 tahun sejak pertama kali dilakukan pengumuman,” urainya.
Baca Juga:
80 Kabupaten dan Kota Terima Penghargaan Adipura 2022, Manggarai Barat Salah Satunya
Narasumber lainnya dalam kegiatan ini adalah Kepala Dinas Pariwisata, Ekonomi Kreatif, dan Kebudayaan Kabupaten Manggarai Barat Pius Baut; Ketua Asosiasi Kelompok Usaha Unitas (Akunitas) Manggarai Barat, Maria Srikandi Mayangsari; serta Kabagbinops Ditreskrimsus Polda NTT, AKBP Johanes Nisa Pewali.
Dalam paparannya, Johanes menyebut, penegakan hukum terhadap pelanggar tindak pidana KI diproses sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Proses penegakan hukum yang dilakukan Polri terhadap pelanggar atau pelaku tindak pidana dilakukan secara profesional dan transparan. Namun demikian, pelanggaran tindak pidana KI juga bisa diselesaikan melalui mediasi atau restorative justice.
“Adanya koordinasi, komunikasi, dan kolaborasi dengan instansi terkait sangat dibutuhkan demi suksesnya penegakan hukum di bidang KI,” ucapnya. klb/san