KABAR LABUAN BAJO – Hendardi, dari SETARA Institute, meminta agar putusan Majelis Etik Polri terhadap seluruh anggota Polri yang menjadi korban ‘prank’ Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir N Yosua Hutabarat atau Brigadir J, agar ditinjau kembali.
Hal ini penting, menurut Hendardi, mengingat Polri sudah mendapatkan konstruksi utuh atas peristiwa dan aktor-aktor yang terlibat, setelah Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memutus perkara ini.
Apalagi Majelis Etik Polri juga sudah menyidangkan Bharada Richard Eliezer dan memutus demosi 1 tahun serta tetap mempertahankan status Eliezer sebagai anggota Polri.
“Putusan Majelis Etik ini tampak sekali mengikuti arus utama publik yang menganggap Eliezer layak mendapat keringanan hukuman, termasuk tetap menjadi anggota Polri,” ujar Hendardi.
Baca Juga:
Richard Eliezer Tetap Jadi Polisi, Dikenakan Sanksi Demosi Satu Tahun
Ia menambahkan, alasan meringankan Eliezer dalam putusan etik itu, karena posisinya sebagai justice collaborator (JC) dan tidak pernah dihukum.
Di luar konteks fakta persidangan, kata dia, sesungguhnya opini publik telah menjadi pengadil utama dalam kasus ini, khususnya terkait Eliezer.
“Hadiah meringankan yang datang bertubi-tubi bagi Eliezer, berbanding terbalik dengan putusan – putusan etik sebelumnya yang menimpa belasan anggota Polri, khususnya dari Polda Metro Jaya, korban ‘prank’ Ferdy Sambo. Posisi sejumlah anggota di wilayah hukum Polda Metro Jaya jelas memungkinkan menjadi korban ‘prank’ karena peristiwa terjadi di Jakarta,” kata Hendardi.
Sidang etik sebelumnya, menurut dia, memutus pelanggaran sejumlah anggota Polri yang bahkan tidak terlibat tindak pidana sama sekali, tetapi dihukum demosi lebih berat dari Eliezer.
“Kondisi ini kemungkinan dipengaruhi oleh euforia penindakan tegas Polri pada awal-awal proses hukum Ferdy Sambo dkk,” ucapnya.
Baca Juga:
SETARA Institute Kecam Pembubaran Peribadatan di Bandar Lampung
Dengan terbuka dan terangnya peristiwa pembunuhan Brigadir J melalui persidangan yang sudah tuntas, imbuh Hendardi, sesungguhnya Polri telah memiliki pengetahuan utuh atas konstruksi peristiwa dan aktor-aktor yang terlibat.
“Dengan demikian, mereka yang betul-betul korban ketidaktahuan, layak pula dipulihkan hak-haknya, termasuk mencari terobosan baru, meninjau putusan Majelis Etik yang terlanjur sudah diketok,” tandasnya.
Turbulensi disiplin anggota Polri akibat peristiwa tersebut dan berbagai respons dan penanganan yang dilakukan oleh Polri, diakuinya telah berhasil memulihkan kepercayaan publik pada Polri.
“Tetapi menjaga moralitas dan soliditas anggota yang terlanjur menjadi ‘korban’ penindakan disiplin dan etik juga penting menjadi agenda Polri, sehingga tuntas melalui ujian presisi yang menjadi mantra bersama Korps Bhayangkara,” pungkas Hendardi. klb/san