Beda Versi Batas Wilayah Administrasi Desa, Warga Tiga Dusun di Boleng Bingung

Facebook
Twitter
WhatsApp
LinkedIn
Pinterest
Print
beda-versi-batas-wilayah-administrasi-desa-warga-tiga-dusun-di-boleng-bingung
Saharudin, Ketua Badan Permusyawaratan Desa Batu Tiga, Kecamatan Boleng, Manggarai Barat. (Foto: San Edison)

KABAR LABUAN BAJO – Warga Dusun Pasir Panjang, Dusun Pontianak, dan Dusun Pisang di pesisir utara Kecamatan Boleng, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), selama tiga tahun belakangan ini kebingungan.

Pemicunya adalah adanya perbedaan versi soal wilayah administrasi desa antara warga tiga dusun ini dengan Pemkab Manggarai Barat. Polemik ini mengemuka setelah kasus tanah mencuat di kawasan tersebut pada awal 2020 lalu.

Menurut versi warga, tiga dusun ini masuk wilayah administrasi Desa Batu Tiga. Sementara menurut Pemkab Manggarai Barat, ketiga dusun ini masih bagian dari Desa Pontianak.

“Bapak Bupati Manggarai Barat Edi Endi, pernah menyampaikan bahwa Kampung Pasir Panjang, Kampung Pontianak, dan Kampung Pisang masuk wilayah administrasi Desa Pontianak,” papar Saharudin, Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Batu Tiga, Kecamatan Boleng, Manggarai Barat, di Labuan Bajo, Sabtu 4 Februari 2023.

Menurut dia, pernyataan Bupati Edi Endi saat melantik Penjabat Kepala Desa Batu Tiga itu membuat warga di tiga dusun resah. Apalagi Bupati Edi Endi dalam pernyataannya juga merujuk pada SK Bupati Manggarai Nomor 20 Tahun 1997 terkait pembentukan Desa Batu Tiga dari Desa Pontianak selaku desa induk.

Konon dalam SK dimaksud disebutkan bahwa Desa Batu Tiga hanya terdiri dari dua dusun, masing-masing Dusun Pulau Medang dan Dusun Pulau Boleng. Sisanya Dusun Pasir Panjang, Dusun Pontianak, Dusun Pisang serta Pulau Sebabi, tetap masuk wilayah administrasi desa induk yakni Desa Pontianak yang berpusat di Pulau Longos.

“Selain merujuk SK Nomor 20 Tahun 1997, wilayah administrasi tersebut juga katanya sesuai dengan peta Badan Informasi Geospasial (BIG). Ini yang membuat masyarakat semakin bingung,” kata Broken, sapaan akrab Saharudin.

Wilayah administrasi Desa Batu Tiga (dalam lingkaran merah) menurut versi SK 20 Tahun 1997 yang hanya terdiri dari Pulau Medang dan Pulau Boleng. (Foto: Tangkapan layar maps google)

Hanya saja, imbuhnya, hal ini justru berbanding terbalik dengan fakta lapangan. Sebab selama sekitar 23 tahun atau sejak pemekaran tahun 1997, seluruh administrasi kependudukan warga di tiga dusun itu berurusan dengan pemerintah Desa Batu Tiga.

Warga di tiga dusun ini pun mendapatkan bantuan dari dana desa, termasuk urusan pembangunan fisik, dari Desa Batu Tiga. Bahkan mereka pun membayar pajak tanah ke Desa Batu Tiga.

“Sertifikat Prona tahun 2011 diurus oleh Desa Batu Tiga. Masyarakat bayar pajak tanah selama 20 tahun lebih juga ke Desa Batu Tiga. Fasilitas publik seperti Pustu, SD dan SMP juga semuanya secara administrasi berada di bawah Desa Batu Tiga,” bebernya.

“Nah ketika selama 20 tahun lebih, sejak pemekaran 1997, nyata-nyata warga di tiga dusun ini berurusan dengan Desa Batu Tiga, kenapa sejak 2020 malah dibilang masuk wilayah administrasi Desa Pontianak?” tanya Saharudin.

Wilayah administrasi Desa Batu Tiga (dalam garis merah putus-putus) menurut versi warga tiga dusun. (Foto: Tangkapan layar maps google)

Tak sekadar polemik wilayah administrasi desa, sebab kasus tanah pada 2020 lalu juga merembet ke urusan sertifikat tanah. Sejak itu, Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Manggarai Barat memblokir sementara proses pengurusan sertifikat tanah milik warga di tiga dusun itu.

Akibatnya, warga pemilik lahan yang semula sudah hampir pasti bertransaksi dengan investor, terpaksa gigit jari. Mereka kehilangan harapan.

“Terus terang, sebelumnya banyak sekali investor yang datang ke daerah kami. Karena memang di sana daerah incaran investor. Namun setelah kasus tanah mencuat pada awal 2020, investor mundur teratur selama tiga tahun belakangan ini. Masyarakat kami menjadi resah,” ujarnya.

Saharudin pun berharap, Pemkab Manggarai Barat segera menyelesaikan masalah ini. Jangan sampai membiarkan masyarakat larut dalam kebingungan dan keresahan panjang seperti saat ini.

Selain soal polemik wilayah administrasi desa, pemerintah diharapkan segera mencari jalan ke luar terbaik terkait pemblokiran urusan sertifikat tanah warga oleh BPN.

“Harapan kami, masalah ini segera diselesaikan pemerintah. Kasihan masyarakat di tiga dusun ini. Semakin lama masalah ini dibiarkan, semakin lama tanah warga tidak diurus sertifikatnya, dan semakin menjauh juga investor. Padahal warga berharap investasi masuk ke sana, membuka lapangan kerja, sekaligus mendongkrak perekonomian masyarakat,” pungkas Saharudin. klb/san

Terkini

Terpopuler

Pembuatan Undangan Digital, Klik Disini!