21 April: Hari Kartini

Facebook
Twitter
WhatsApp
LinkedIn
Pinterest
Print
Buku-buku tentang Kartini. (Foto: tutinonka.wordpress.com)

KABAR LABUAN BAJO – Tanggal 21 April diperingati sebagai Hari Kartini di Indonesia. Peringatan tersebut sesuai Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964.

Keputusan yang diterbitkan Presiden Soekarno pada tanggal 2 Mei 1964 ini menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional. Selain itu, tanggal 21 April juga ditetapkan sebagai Hari Kartini.

Pemilihan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini karena tanggal tersebut adalah hari kelahiran Kartini.

Baca Juga:
8 Maret: Hari Perempuan Internasional

Disarikan dari berbagai sumber, Kartini memiliki nama lengkap Raden Ajeng Kartini atau juga dikenal RA Kartini. Ia lahir di Kota Jepara, Jawa Tengah, pada tanggal 21 April 1879.

Kartini adalah putri dari salah seorang bangsawan bernama Raden Mas (RM) Sosroningrat yang menikah dengan wanita desa, Mas Ajeng Ngasirah.

Saat berusia 6 tahun, tepatnya tahun 1885, Kartini bersekolah di Europesche Lagere School (ELS) atau setara dengan Sekolah Dasar (SD). Anak pribumi Indonesia yang diizinkan mengikuti pendidikan di ELS, hanya yang orang tuanya merupakan pejabat tinggi pemerintah.

Bahasa pengantar di ELS kala itu adalah bahasa
Belanda. Itu sebabnya, Kartini bisa meningkatkan kemampuan berbahasa Belanda sejak usia belia.

Baca Juga:
21 Februari: Hari Bahasa Ibu Internasional

Sayangnya, Kartini kecil tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya karena ditentang oleh sang ayah. Ia dipaksa untuk menjadi putri bangsawan dengan mengikuti adat istiadat yang berlaku.

Masa-masa selanjutnya, Kartini banyak menghabiskan waktu di rumahnya. Meski begitu, keinginannya untuk belajar sangat kuat.

Buktinya, Kartini mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan untuk dibaca di taman rumah. Kartini pun jadi gemar membaca dan sering bertanya kepada ayahnya.

Selain surat kabar atau majalah-majalah kebudayaan Eropa berbahasa Belanda yang menjadi langganannya, Kartini juga banyak membaca buku-buku karya Louis Coperus yang berjudul De Stille Kraacht, karya Van Eeden, Augusta de Witt. Ia juga membaca buku karya Multatuli yang berjudul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta.

Baca Juga:
21 Maret: Hari Puisi Sedunia

Dalam proses belajar di rumah itu, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir wanita Eropa, Belanda khususnya, yang waktu itu masih menjajah Indonesia.

Inilah yang kemudian menginspirasi Kartini untuk memajukan kehidupan wanita Indonesia. Baginya, wanita tidak hanya di dapur, tetapi juga harus mempunyai ilmu.

Ia lalu mulai mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan lainnya. Bahkan di tengah kesibukannya, Kartini tidak berhenti membaca dan menulis surat kepada teman-temannya yang berada di negeri Belanda.

Baca Juga:
19 Maret 1995: Nike Ardilla Meninggal Dunia

Kartini sesungguhnya sempat menulis surat kepada JH Abendanon. Ia memohon agar diberikan beasiswa untuk bersekolah di Belanda.

Namun, beasiswa tersebut tidak sempat dimanfaatkan, karena Kartini justru dinikahkan oleh orang tuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah, Kartini harus ikut suaminya ke daerah Rembang.

Suaminya mendukung keinginan Kartini mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.

Baca Juga:
9 Maret: Hari Musik Nasional

Kartini melahirkan seorang anak yang diberi nama Soesalit Djojoadhiningrat, pada tanggal 13 September 1904. Namun, tidak lama setelah melahirkan, Kartini meninggal dunia di usia 25 tahun pada 17 September 1904. Pahlawan emansipasi ini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Setelah Kartini wafat, JH Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan Kartini kepada teman-temannya di Eropa. Buku itu diberi judul Door Duisternis Tot Licht yang artinya ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’.

JH Abendanon adalah Menteri Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda dari tahun 1900 hingga 1905. Ia tercatat sebagai pejabat yang sangat mendukung Politik Etis.

JH Abendanon pernah menyatakan bahwa penduduk pribumi Hindia Belanda berhak atas perlakuan yang sama sepenuhnya dengan orang Eropa dan menolak diskriminasi. Bahkan secara khusus ia mempromosikan pendidikan Barat berbahasa Belanda untuk pribumi dan perempuan pada khususnya. klb/san

Terkini

Terpopuler

Pembuatan Undangan Digital, Klik Disini!